“Baik-baik saja?”
Aku mengangkat kepalaku dari bantalan nyaman
yang komposisinya terdiri dari lengan-lenganku sendiri dibalut dengan sweater hasil curian di kamar August pagi ini. Suara Mr. Tanner masih terdengar di depan kelas;
sedang menerangkan teori reaksi sederhana polimerisasi dari polietilena blahdiddyblergh—aku
tidak kuasa lagi mendengarnya. Fantasi harian super menyedihkan soal Jeremy, kimia dasar yang benar-benar
tidak dasar, terik sinar matahari pagi serta banyak hal lain sudah menyita
kesehatan saraf kepalaku yang memang sedari awal sudah abnormal. Singkatnya,
migrain ini mengganggu sekali bahkan untuk ukuran manusia penuh ketidakpedulian
sepertiku. Maksudku, kalau kepalaku saja enggan berpartisipasi dalam sistem
bernama kehidupan hari ini, bagaimana bisa aku melakukannya? Jadi saat aku
mendapati wajah Harry Greenwood ketika
aku mendongak, kabel-kabel dalam kepalaku yang sedang migrain sama sekali tidak
membantu. Aku bertanya-tanya, melongo, sekaligus menyipitkan mata menahan
pusing.
“Kau baik-baik saja?” ulangnya. Kayaknya dia
menyadari betapa lambannya kerja otakku saat ini—lebih parah dari yang
sudah-sudah.
“Aku pusing.” Hanya itu yang kukatakan. Kau
tidak tahu ‘kan kalau migrain bisa membuatmu malas bicara selain malas yang
lain-lain? Lagipula aku sedang sibuk berpikir kenapa dia tiba-tiba berbicara
padaku. Harry bukan jenis orang yang banyak bicara, tapi karena wajahnya yang—entahlah,
kurasa lumayan—mendapat label cowok cool nan misterius dari kalangan
cewek-cewek (setidaknya itulah yang kudengar pada jam makan siang kalau
kebetulan dia melewati meja groupie). Bukan berarti dia tidak pernah
berbicara denganku atau sebaliknya. Harry dan aku kebetulan selalu bersekolah
di tempat yang sama sejak SD. Jadi, hitung saja. Satu, dua, tiga..., enam...,
sebelas, dua belas. Dua belas tahun. Teman-temanku bahkan mengutuk dengan
gamblang bahwa dia adalah semacam soulmateku hanya karena aku terjebak
di tempat yang sama dengannya selama kurang lebih dua belas tahun. Oh, ditambah
dengan beberapa tahun kedepan—kayaknya Tuhan mendengar gosip kutukan dari
teman-temanku—karena Harry dan aku baru saja masuk di fakultas yang sama tahun
lalu.
“Oh.”
Ha. Lucu sekali, lucu sekali, setelah aku repot-repot
memikirkan tingkahnya di tengah malfungsi kepalaku, dia membalasnya dengan satu
kata.
Kadang aku benar-benar membenci cowok dingin.
Aku kembali bergelung dalam lenganku,
melanjutkan tidur yang tertunda walaupun aku tahu aku tidak pernah bisa tidur
dengan mudah saat migrain. Biasanya aku menggunakan kemampuan imajinasi otakku
yang overaktif untuk memunculkan diriku dalam drama jepang dimana aku adalah
tokoh seorang gadis yang cintanya tidak terbalas sedang duduk di dalam kelas di
dekat jendela memandang hujan yang mengguyur pepohonan (ini menimbulkan rasa
dingin yang nyaman untukku karena, well, salah satu pemicu migrainku adalah
suhu yang panas). Sebenarnya aku belum pernah benar-benar berbicara pada Jeremy, apalagi ditolak cintanya. Jadi, yah, oke ini menyedihkan sekali. Aku memang
menyedihkan.
“Kita bisa membolos hari ini, kalau kau mau”
Apa?
“Apa?” tanyaku, walaupun perkataannya sudah
jelas. Tidak heran kalau dia mendesah tidak tahan dengan kelambanan kerja
otakku, tapi kelambanan memberiku ruang lebih besar untuk berpikir.
“Ayo,” dia menyambar lenganku hampir bersamaan
dengan tasnya.
Aku yakin bahwa
tadinya aku adalah si penderita migrain yang dengan tolol menayangkan drama jepang
dalam pikirannya untuk bisa tidur di kelas kimia dasar. Bukannya si tukang
bolos yang sedang berlari di sepanjang koridor seperti yang sedang kulakukan
sekarang ini. Sialnya, aku tidak sempat menyambar drawing pen 0.2
kesayanganku yang jatuh ke lantai tadi. Mungkin aku akan mengambilnya setelah
kelas dibubarkan. Kalau beruntung, Kaitlyn mungkin akan menyimpannya untukku.
Hanya saja rasanya aku baru saja melewati sosok Kaitlyn yang sedang melongo
memandangku di anak tangga yang sedang kunaiki dengan kecepatan abnormal.
Benar juga.
Aku lupa Kaitlyn bahkan tidak datang ke kelas
kimia dasar hari ini. Dasar tukang bolos.
Langkahku melambat
setelah menaiki beberapa tangga dan mendapati angin kencang menerpa poniku. Aku
berada di atap. Wow.
Sejak kapan?
“Kau baik-baik saja?”
tanya Harry yang entah sudah berapa lama berdiri di hadapanku. Oh, ya, aku
hampir melupakan si empu tangan yang sedaritadi menarik lenganku. Aku
memikirkan migrainku yang hilang disapu angin saat aku berlari. Sudah kuduga
mestinya kulakukan dari dulu, bukannya berimajinasi tolol. Angin sungguhan
memang menakjubkan. Eh? Bukankah seharusnya bertambah parah ya kalau berlari
seperti orang aneh tadi? Tapi entah mengapa aku merasa baikan kok.
“Aku ba—“
“Sudah kuduga ini
tidak berhasil padamu.” sahutnya sambil tertawa sebelum berjalan agak menjauh.
“Apanya?” tanyaku penasaran.
Harry menghirup nafas dalam-dalam sambil
merentangkan lengan-lengannya pada pemandangan di hadapannya. Mau tak mau
mataku turut memandangnya. Taman kota yang super hijau membumbung di sebelah
barat, dikelilingi gedung-gedung perkantoran dan jalan-jalan aspal yang biasa
kulewati. Benar-benar kelihatan berbeda dari sini. Aku baru saja merasa
tenggelam dalam halauan angin saat aku mendengarnya bicara, “Wajah cewek normal
pada umumnya akan memerah malu kalau diajak berlari ke atap oleh cowok
sebayanya,” ujarnya sebelum menoleh tajam padaku. “Kau malah melongo.”
Aku mencerna kata-katanya, memikirkan bagaimana
aku bisa sampai disini, memikirkan jemari yang tidak melepas lenganku selama—oh
ya Tuhan! Aku berpapasan dengan Kaitlyn! Baru sekitar dua hari yang lalu di laboratorium
dia bilang Harry Greenwood dalam balutan
jas lab terlihat sesempurna Nicholas Hoult (aku sudah sering melihat Harry
dalam jas lab sejak kelas tujuh, jadi aku tidak memahami dimana Nicholas
Hoult-nya). Kaitlyn pasti menginterogasiku soal hal ini nanti.
“Ya ampun, kau benar-benar tidak pernah
berubah, ya” sambil sedikit membungkuk, Harry memandang wajahku lekat-lekat
dengan tatapan heran. “Tidak normal.”
“Aku normal kok. Maaf ya, sudah menghancurkan
ekspektasimu.”
“Kau aneh.”
“Selamat, kau orang ke lima ratus tujuh puluh
satu koma enam yang bilang begitu padaku.” kataku datar.
Harry terkekeh. Untuk pertama kalinya aku
menyadari bahwa pendapat para groupie di kantin mengenainya tidak begitu
salah. Harry Greenwood memang
menawan.
“Tahu tidak?” Aku mendengar diriku sendiri
bersuara. Mataku masih belum terlepas dari jejak-jejak tawanya.
“Hn?”
Selama sepersekian detik aku membiarkan diriku tenggelam
saja memandangi manik super biru itu. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya saja
aku harus sedikit menengadah ke atas
untuk melihatnya dengan jelas. Butuh sepersekian detik di hari yang tidak biasa
ini untuk menyadari bahwa ia sudah tumbuh beberapa inci lebih tinggi dariku. Butuh
sepersekian detik untuk menyadari bahwa bintik-bintik di pipinya masih terlihat
walau tidak sejelas waktu kami masih di kelas delapan. Butuh satu hari yang
tidak biasa ini untuk menyadari bahwa kami telah tumbuh bersama-sama selama…yah,
silahkan lakukan matematikanya. Bagaimana bisa detail-detail kecil ini luput
dari mataku?
Tunggu, sampai dari mana kita tadi?
Comments
Post a Comment