“Hoi, lagi apa?” kamu
menepuk bahuku seraya beringsut duduk di karpet tepat di sebelahku. Seperti
biasa, cengiran kekanak-kanakanmu mengundang orang di sekitarmu ikut tersenyum
juga. Aku heran bagaimana bisa kamu menciptakan jenis cengiran seperti
itu. Matamu beralih pada layar netbook
yang sedaritadi kutekuni. “Tumben nggak nonton anime?”
“Kuroko udah tamat sih.
Kamu sendiri tumben main ke rumah? Satria ada kemah noh di sekolahnya, teman
main ps kamu lagi nggak di rumah.”
“Emang kalo aku ke
rumah kamu kepentingannya cuma main ps? Lagian kan aku lagi kepingin ketemu
kakaknya Sat, bukan dianya” kamu mencoba tersenyum genit tapi malah meledak
menjadi tawa. Aku mencibir.
“Kalo mau gombalin
orang tuh training tahan ketawa duluu, oneng.”
“Yeee kayak kamu
bakal kepengaruh aja kalo digombalin yang beneran. Kamu kan cewek berhati es
batu” lagi-lagi kamu tetawa terpingkal-pingkal, aku mendengus sambil kembali
menekuni layar netbookku. Kamu memiringkan kepala setelah beberapa menit
ikut menekuni film yang sedaritadi aku tonton.
“Perahu Kertas
lagi?”
“Yes, Sir. Kenapa
emang?”
“Yaela, Taa, Ta. Kamu
tuh nonton Perahu Kertas kayak nonton hidup kamu sendiri tahu nggak.” katamu
sambil memain-mainkan ponselku yang tergeletak di dekat netbookku.
“Nande?
(Kenapa?)”
“Cewek aneh, suka
nulis, naksir sama cowok yang suka gambar, tapi nggak kesampe—iya iya ampuun!
Nggak pake mukul kenape” kamu mencibir setelah aku menghentikan serangan
pukulan majalah di tanganku.
“Bukan cuma soal romansanya aja
kaleee. Alang ih kayak manusia aja
pikirannya dangkal amat.”
“Ya emang aku manusia yee, emangnya kamu, ultramen” katamu sambil
sesekali memegangi lengan yang baru saja kuhujani pukulan majalah kuliner milik
Ayah.
“Perahu
Kertas tuh dominan juga tentang mimpi, tahu. Jenis mimpi yang
bukan ada di anime-anime sama film-film aja. Ini soal hal-hal yang dekat sama
kita. Yang mungkin juga dialami sebagian besar orang.”
“Dengan kata lain
anda juga mengalaminya. Begitu, Bu Sastrawan?”
Aku melepas kacamataku,
“Sedang mengalaminya.” koreksiku.
Kamu terlihat sedang mencerna
kalimatku sementara aku mematikan netbookku, tiba-tiba kehilangan selera
menonton. Hal-hal mulai berkejaran di benakku. Kamu pun sedang sibuk sendiri dengan
hal-hal dalam kepalamu.
“Lang,”
“Hm?”
“Sebenarnya aku nanti
kuliah tuh buat apa sih?”
“Ya buat meraih
cita-citamu lah, Ta. Buat menimba ilmu. Buat bekal menitih karir nanti. Emang kenapa sih?
Bingung lagi soal jurusan ya?”
Aku memandangmu
jengah, “Buat cita-cita atau karir yang bener? Satu aja, plis”
“Ya aku rasa karir
kamu itulah cita-citamu.”
“Buat apa sebenarnya
karirku nanti? Buat dapet uang banyak? Buat dapat nama?”
“Sita—“
“Buat apa, Lang?” tanyaku tidak
sabaran. Kepalaku sudah mencapai batasannya mengenai hal ini. Aku bahkan tidak
akan heran kalau asap mulai mendesis dari kepalaku.
“Boleh aku tanya
sesuatu dulu?” tanganmu mengisyaratkanku untuk tenang. Aku mengangguk kendati
tidak benar-benar yakin dengan apa yang terjadi selanjutnya. “Kamu kepingin
jadi apa nanti?”
“A..”
“Ya?”
“Aku..”
Comments
Post a Comment