Skip to main content

Kertas Perahu [almost a story]

“Hoi, lagi apa?” kamu menepuk bahuku seraya beringsut duduk di karpet tepat di sebelahku. Seperti biasa, cengiran kekanak-kanakanmu mengundang orang di sekitarmu ikut tersenyum juga. Aku heran bagaimana bisa kamu menciptakan jenis cengiran seperti itu.  Matamu beralih pada layar netbook yang sedaritadi kutekuni. “Tumben nggak nonton anime?”

Kuroko udah tamat sih. Kamu sendiri tumben main ke rumah? Satria ada kemah noh di sekolahnya, teman main ps kamu lagi nggak di rumah.”

“Emang kalo aku ke rumah kamu kepentingannya cuma main ps? Lagian kan aku lagi kepingin ketemu kakaknya Sat, bukan dianya” kamu mencoba tersenyum genit tapi malah meledak menjadi tawa. Aku mencibir.

“Kalo mau gombalin orang tuh training tahan ketawa duluu, oneng.”

“Yeee kayak kamu bakal kepengaruh aja kalo digombalin yang beneran. Kamu kan cewek berhati es batu” lagi-lagi kamu tetawa terpingkal-pingkal, aku mendengus sambil kembali menekuni layar netbookku. Kamu memiringkan kepala setelah beberapa menit ikut menekuni film yang sedaritadi aku tonton.

Perahu Kertas lagi?”

“Yes, Sir. Kenapa emang?”

“Yaela, Taa, Ta. Kamu tuh nonton Perahu Kertas kayak nonton hidup kamu sendiri tahu nggak.” katamu sambil memain-mainkan ponselku yang tergeletak di dekat netbookku.

Nande? (Kenapa?)”

“Cewek aneh, suka nulis, naksir sama cowok yang suka gambar, tapi nggak kesampe—iya iya ampuun! Nggak pake mukul kenape” kamu mencibir setelah aku menghentikan serangan pukulan majalah di tanganku.

“Bukan cuma soal romansanya aja kaleee. Alang ih kayak manusia aja pikirannya dangkal amat.”

“Ya emang aku manusia yee, emangnya kamu, ultramen” katamu sambil sesekali memegangi lengan yang baru saja kuhujani pukulan majalah kuliner milik Ayah.

Perahu Kertas tuh dominan juga tentang mimpi, tahu. Jenis mimpi yang bukan ada di anime-anime sama film-film aja. Ini soal hal-hal yang dekat sama kita. Yang mungkin juga dialami sebagian besar orang.”

“Dengan kata lain anda juga mengalaminya. Begitu, Bu Sastrawan?”

Aku melepas kacamataku, “Sedang mengalaminya.” koreksiku.

Kamu terlihat sedang mencerna kalimatku sementara aku mematikan netbookku, tiba-tiba kehilangan selera menonton. Hal-hal mulai berkejaran di benakku. Kamu pun sedang sibuk sendiri dengan hal-hal dalam kepalamu.

Lang,

“Hm?”

“Sebenarnya aku nanti kuliah tuh buat apa sih?”

“Ya buat meraih cita-citamu lah, Ta. Buat menimba ilmu. Buat bekal menitih karir nanti. Emang kenapa sih? Bingung lagi soal jurusan ya?”

Aku memandangmu jengah, “Buat cita-cita atau karir yang bener? Satu aja, plis”

“Ya aku rasa karir kamu itulah cita-citamu.”

“Buat apa sebenarnya karirku nanti? Buat dapet uang banyak? Buat dapat nama?”

Sita—“

“Buat apa, Lang?” tanyaku tidak sabaran. Kepalaku sudah mencapai batasannya mengenai hal ini. Aku bahkan tidak akan heran kalau asap mulai mendesis dari kepalaku.

“Boleh aku tanya sesuatu dulu?” tanganmu mengisyaratkanku untuk tenang. Aku mengangguk kendati tidak benar-benar yakin dengan apa yang terjadi selanjutnya. “Kamu kepingin jadi apa nanti?”

“A..”

“Ya?”

“Aku..”

Comments

Popular posts from this blog

Loving Like an Existentialist by Savannah Brown

There are many theories as to how we came to be I’m not sure which one I believe. Did we appear as dually flickering lights above the hazy skyline— fluttering, distant, choking on a stifling fog First, solitary decades of life as a lukewarm utterance whispering, “Oh what is this emptiness?” Hybrid gesturing suggesting half isn’t missing, but whole. But someday, when beacons collide, not coincidence but prophecy, wrenching claims of meant to be The sparks erupt, in ultraviolet chaos—volcanic, raging, a mighty wallop of color and sound, a shattering cry of belonging splitting time itself. I don’t think so. I don’t think I was born to love anyone except myself, but even that, some days, I’m not sure is true. I don’t think our initials are carved into anything immortal. Let alone battered into the very cosmos The air didn’t—lock into place upon out arrival, awaiting the moment our silhouettes would one day fill the empty space I

#ESCAPRIL Day 29. May Flowers

Anime Review: Chihayafuru (not a pro review so go away)

((May contain spoiler so go away)) (( disclaimer: I don't own the pictures)) (((I'm just a fan okay so shut it))) I feel bad being this rude not to write more detailed information about this anime (too bad this is not goodreads hiksu). I mean you can always find them in Wikipedia right. But I will do give brief (the super subjective ones) information due to my respect towards the authors. orz  Title : Chihayafuru  ( ちはやふる). It has no literal meaning so you have to watch it til the very end to understand it hahaa. Author + Illustrator [manga] : Yuki Suetsugu. You can check out the rest writers and directors of the anime on Wiki-san. Genre : Drama, romance, and sports (karuta)---says the Wiki-san (which I don't quite agree). As for me, Chihayafuru has sports (kaaaruta bakkari lol), slight drama especially on the karuta match (I mean a sport anime without drama is like watching a regular match right), and friendship genre. Chihaya makes this anime becomes